Buku Yasin-Tahlil dan Majmu’ Syarif, menjadi sarana atau wasilah mendo’akan
Al Marhum / Al Marhumah keluarga tercinta baik dalam peringatan dan do’a
bersama pada 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 hari wafatnya.
Mencetak buku Yasin dan Tahlil ataupun Majmu’ Syarif yang berkualitas, murah
dan terjangkau sesuai anggaran Anda tentu saja sangat bisa diamanahkan kepada
kami di bukudoa-Lithograph.
Apabila sudah punya desain, kami siap membantu mewujudkan desain Anda. Jika
belum punya desainnya, maka dengan senang hati kami menawarkan galeri desain
kami untuk Buku Yasin-Tahlil, ataupun Majmu’ Syarif secara eksklusif kepada
Anda. Berbagai pilihan desain yang menarik, elegan bahkan bisa custome
sesuai dengan selera Anda.
Agar proses cetak buku Yasin-Tahlil dan Majmu’ Syarif berjalan cepat, kami
sarankan Anda untuk berkonsultasi terlebih dahulu mengenai :
Kami siap melayani pemesanan baik online maupun offline,
dalam kota maupun luar kota. Untuk pengiriman yang berdomisili di kota
Yogyakarta dengan senang hati kami antarkan langsung ke rumah Anda, untuk yang
diluar kota jangan khawatir kami bantu proses pengiriman melalui jasa
pengiriman yang berkerjasama dengan bukudoa-Lithograph.
Pada dasarnya, dalam kaidah bahasa Arab yang baku,
ha’ dhamir mudzakkar (kata ganti tunggal yang maskulin) apabila didahului oleh
kasrah atau ya’ sukun, maka harus dibaca kasrah, karena untuk menyesuaikan
harakat sebelumnya, seperti lafadz (بِهِ)
atau (عَلَيْهِ). Namun dalam riwayat
Imam Hafs, kaidah ini tidak berlaku, yakni pada Surat al-Fath ayat 10 (عليهُ الله) dan Surat al-Kahfi ayat 63 (وما أنسابيهُ). Pada kedua lafadz di atas, ha’ dhamirnya
dibaca dhammah, padahal menurut kaidah bahasa seharusnya dibaca kasrah. Dua
ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS al-Fath: 10)
Artinya: “Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali’.” (QS al-Kahfi:63)
Mengapa demikian? Padahal, untuk mengidentifikasi
keotentikan sebuah qira’at Al-Qur’an harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1)
tersambungnya sanad secara mutawatir, (2) sesuai dengan rasm utsmaniy, dan (3)
sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Apabila syarat di atas tidak terpenuhi, maka
bacaan tersebut dihukumi syadz (nyeleneh) dan tidak shahih, walaupun bacaan itu
bagian dari Qira’at Sab’ah. Dalam hal ini Imam Al-Jazariy bersenandung lewat
bait syairnya, yaitu:
فكل ما وافق وجه
النحو *** وكان للرسم احتمالا يحوي
وصح إسنادا هو القرأن *** فهذه الثلاثة الأركان
وحيثما يختل ركن أثبت *** شذوذه لو أنه في السبعة
Dalam bahasa Arab, asal mula ha’ dhamir mudzakkar
(kata ganti tunggal yang maskulin) adalah “هو”
(huwa; dhammah ha’-nya). Dalam dunia pesantren, lafadz ini kenal dengan sebutan
“dhamir munfashil” (kata ganti tunggal maskulin yang terpisah dari lafadz
lain). Apabila dhamir ini disambung dengan lafadz lain, maka dhamir itu dikenal
dengan sebutan “dhamir muttashil”.
Dalam bacaan riwayat Imam Hafs, pada kedua lafadz
di atas (عليهُ الله) (وما أنسابيهُ) dibaca dhammah, apabila ditinjau dari sisi
kaidah bahasa Arab, sebenarnya tidak keluar dari pakem bahasa Arab, sebab asal
mula harakat ha’ dhamir itu sendiri adalah dhammah. Artinya, dalam hal ini ha’
dhamir dibaca dhammah karena mengukuti sesuai asalnya, yaitu dhammah. Demikian ini merupakan dialek
(lahjah) Qurasy.
Sementara itu, apabila dipandang dari sisi
pemaknaan, pada kasus Surat al-Fath ayat 10 (عليهُ
الله) ha’ dhamir yang bersambung dengan lafadz Allah, menurut Syekh
Al-Sayyid Al-Tanthawiy dalam tafsirnya Al-Wasith menguraikan bahwa alasan
dibaca dhammah ha’ dhamir pada lafadz itu karena bersambung dengan lafadz
Allah. Untuk mengagungkan lafadz, seyogianya dibaca tebal (tafkhim). Selain
itu, dalam ayat tersebut menceritakan tentang “Sulh Al-Hudaibiyah” di mana
antara Nabi dan umat Islam melakukan perjanjian dengan kaum musyrik yang harus
ditepati oleh kedua belah pihak. Karena dalam perjanjian ini adalah perjanjian
yang sangat berat, maka sewajarnya ditekankan suara dengan membaca dhammah ha’
dhamir dengan menebalkan lafadz Allah agar sesuai dengan besarnya tanggung
jawab perjanjian dan juga dalam rangka menyesuaikan antara lafadz dan makna
yang terkandung di dalamnya.
Meskipun demikian, apabila dipandang dari sisi ilmu
qira’at, bacaan ini (dhammah ha’ dhamir) merupakan bacaan yang sahih dan
mutawatir, yang dihasilkan dari transmisi yang jelas dan penukilan yang sahih
dari Nabi ﷺ., kepada para sahabat, dan dilanjutkan
oleh para tabi’in hingga sampai kepada kita.
Secara silsilah sanad, bacaan ini diriwayatkan oleh
Sayyidina Ali karramallâhu wajhah kepada muridnya, Abu Abdurrahman Al-Sullamiy,
kemudian diriwayatkan oleh muridnya Imam Ashim, dan dilanjutkan oleh muridnya
Imam Hafs, hingga sampai kepada kita secara mutawatir.
Perlu diketahui bahwa dalam periwayatan qira’at
Al-Qur’an tidak ada istilah ijtihad bacaan atau mengekor pada kaidah bahasa
Arab, justru sebaliknya bahasa Arab harus mengikuti periwayatan qira’at
Al-Qur’an. Sementara penggalian pada sisi pemaknaan, bahasa dan lainnya sebagai
bukti kebeneran dan otentifikasi qira’at Al-Qur’an. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo.
Mari menanamkan nilai kebaikan kepada putra-putri kita dengan bernyanyi dengan mereka. Karena dengan hal yang menyenangkan diantaranya dengan bernyanyi secara tanpa sadar akan merasuk nilai-nilai positif dari bait-bait lagu tersebut di otak bawah sadar putra-putri kita.
Sehingga mereka ke depan mudah-mudahan tidak menjadi generasi “Sobat Ambyar”, generasi “Cengeng”, generasi “Micin”, bahkan generasi “Frustasi”.
Na’udzubillahi min dalik.
Siapa suka
berbohong
Siapa sering
bohong
Berbohong itu
dosa
Perbuatan tercela
Dilarang agama
Islam
Reff:
Janganlah sekali-kali
berbohong
Sekali bohong
tiada dipercaya
Janganlah sekali-kali
berbohong
Berbohong dilarang
agama Islam
Mahfudzot:
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ اَدَمَ مِنْ
لِسَانِهِ
Kesalahan
manusia yang paling banyak, adalah karena lisannya.
سَلاَمَةُ
الْأِنْسَانِ فِي حِفْظِ اللِّسَان
Keselamatan
manusia (tergantung) dalam menjaga lisannya.
Qiraati
bukan hasil fikiran manusia, Qiraati bukan karangan saya, Qiraati adalah
inayah dan hidayah MINALLAH.
Saya duduk, saya kelihatan tulisan. Jadi kalau ditanya, “mengapa pelajaran
ikhfa di jilid 4, sedangkan idhar di jilid 6,?” jawabannya, “Tidak
tahu, saya tidak ikut ngarang.”
Saya tidak
jual buku, saya ingin anak-anak nanti ngajinya benar. Kalau saya jual
buku, buat apa repot repot membentuk Kooordinator, titipkan saja ke
toko-toko buku, selesai.
Saya tidak
pingin yang pakai Qiraati banyak. Saya pingin anak yang ngaji pakai
Qiraati, ngajinya benar.
Qiraati
tidak disebar-sebarkan, saya tidak pernah menyebarkan Qiraati. Qiraati
menyebar minallah.
II. METODOLOGI
Kegagalan
mengajar tempo dulu sebabnya ialah : Terlalu Toleransi pada anak-anak.
Pelajaran belum bisa anaknya minta tambah, ditambah, satu halaman dua
halaman belum masalah. Setelah halaman 15 pelajaran tidak bisa diteruskan
dan disuruh kembali ke halaman pertama tidak mau. Akhirnya karena merasa
tidak berhasil ngajinya pindah.
Insya
Allah setelah TK Al-Qur’an berdiri. Dua tahun sudah khotaman, di sini
(semarang) santri 90 setelah 2 tahun Khotam 20 santri (+ 20 %)
Tidak ada
murid bodoh, kalau ada yang bodoh paling dalam 100 ada satu atau dua murid
saja. Kalau ada guru yang mengatakan “ Murid saya bodoh-bodoh” apa
bukan guru”Gurunya?” Tanya beliau. Dan kalau ada anak yang bodoh seperti
itu maka cara yang tepat ialah gurunya SOWAN ke rumah orang tuanya agar
orang tuanya sabar.
Qiraati
tidak kemana-mana tetapi ada di mana-mana. Siapa yang lulus tashih boleh
mengajarkan Qiraati. (Yang belum lulus
tashih walaupun teman atau saudara tidak boleh mengajar Qiraati)
III. UJIAN SANTRI, KHATAMAN, DAN IMTIHAN
Khatam Qiraati
jilid 6 adalah khatam Tingkat Persiapan, insya Allah sudah bisa
baca Al Quran dengan tartil (belum khatam).
Kalau dulu
santri ngaji sampai با لناس
dikhatami, sekarang di TK Al Quran sampai dengan با
لناس baca Al Qurannya diulangi الم lagi, belum dikhatami sampai gharib dan ilmu tajwid
khatam.
Khatam TK
Al Quran, khatam Al Qurannya bisa 2 kali, 3 kali, atau sampai 5 kali.
Khataman
ini adalah khataman untuk pendidikan, dan ini lebih cocok (karena model tadarus
ini lebih efektif dibandingkan dengan model tallqi).
Saya
diundang khataman di Kudus, bacaan gharibnya bagus tapi baca al Qurannya
tidak tartil.
Baca ان طهرا gharibnya benar, tapi an tha “salah” tidak dengung.
Saya sampaikan kepada Kepala TK Al Qurannya bahwa, “anak-anak belum boleh
dikhatami, masih jilid 3.”
Khataman
jangan diganti dengan wisuda
Khataman
tidak harus meriah (mewah), pernah di sini (Semarang), khataman cukup
dengan mengeluarkan minuman teh dan kantong plastik, sedangkan isinya dari
(sumbangan) wali murid.
Kalau akan
mengadakan khataman, wali murid yang dikhtami diajak rapat, mau khataman
di gedung atau di sini (TPQ), terserah wali murid.
IV. KRITIK DAN SARAN KH. DAHLAN SALIM ZARKASYI
Saya tidak
pernah dengar guru Al Quran mengatakan, “al hamdulillah saya telah
dijadikan Allah sebagai guru Al Quran, padahal,
خيركم
من تعلم القرأن و علمهBerapa itu ? (nilai pahala) خيركم
Yang
sering saya dengarkan guru mengeluhkan santrinya dan pengurusnya, (orang bersyukur tidak suka mengeluh).
Guru Al
Quran harus sering tadarus Al Qur’an.
Guru Al
Quran harus ikhlas.
Saya kira
tidak ada guru Al-Quran yang ingin cari sesuatu (nafkah dalam mengajar Al
Quran).
Kalau ada
orang memberi sesuatu pada kita, maka cepat-cepat doakan semoga rizkinya
barokah.
Guru Al
Quran supaya hati-hati dalam mengajarkan Al Quran.
Istisqa secara bahasa adalah
meminta siraman berupa air minum, air hujan, air masak, dan lainnya. Sedangkan
secara istilah syariat adalah permintaan hujan oleh seorang hamba kepada
Allah subhanahu wata’ala saat membutuhkannya. Istisqa
disyariatkan ketika putusnya air hujan atau minimnya sumber air, semisal karena
kemarau panjang.
Istisqa bisa dilakukan
dengan tiga (3) cara.
Pertama, dengan berdoa agar segera
diberi hujan, baik sendirian maupun berjamaah. Istisqa jenis pertama ini tidak
dibatasi oleh waktu dan tempat.
Kedua, berdoa meminta hujan setelah
shalat, baik shalat sunnah maupun shalat fardhu, semisal setelah khutbah Jumat,
khutbah shalat hari raya, dan sebagainya. Istisqa jenis kedua ini tidak berbeda
dengan yang pertama, namun doa yang dipanjatkan lebih khusus dilakukan setelah
shalat dengan segala jenisnya.
Ketiga, dengan bertaubat, puasa dan
shalat Istisqa. Cara yang ketiga ini adalah cara yang paling utama, karena
telah diamalkan oleh Nabi, sahabat, Tabi’in dan generasi ulama setelahnya
(Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain [Surabaya:
al-Haramain], hal. 111, dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim
al-Kaf, al-Taqrirat al-Sadidah [Pasuruan: Dar al-‘Ulum
al-Islamiyyah], hal. 350).
Adapun hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan bisa berubah statusnya menjadi wajib bila diperintahkan oleh pemerintah. Untuk menyelenggarakan shalat istisqa’ atau shalat untuk memohon hujan, perlu diketahui bahwa ada proses yang harus dilakukan sebelum shalat dan ada proses yang dilakukan di dalam shalat dan khutbah agar permohonan hujan lebih memungkinkan untuk dikabulkan Allah. Kedua proses tersebut sebagai berikut:
Proses Sebelum Shalat
Imam mengajak masyarakat untuk bertobat, memperbanyak istighfar,
bersedekah, menghentikan maksiat dan kezaliman, serta berdamai dengan Muslim
lain yang dimusuhi.
Dianjurkan juga agar imam beserta masyarakat berpuasa selama tiga hari
sebelum melakukan shalat.
Di hari keempat setelah berpuasa, imam beserta masyarakat bersama ke luar
menuju lapangan untuk shalat dengan menggunakan pakaian reguler yang dipakai
bekerja setiap harinya, bukan pakaian bagus.
Orang tua, anak kecil, serta orang-orang yang lemah secara fisik dibawa
serta untuk ikut shalat.
Bagi yang mempunyai ternak, dianjurkan membawa serta ternaknya ke lokasi
shalat dan ditempatkan di tempat yang sekiranya tidak mengganggu jamaah.
Proses Shalat dan Khutbah
Shalat dua rakaat dengan niat istisqa’. Lafal niatnya adalah:
“Aku
berniat shalat sunnah minta hujan dua rakaat sebagai makmum (atau imam), karena
Allah SWT.”
Tata cara shalat istisqa’ mirip seperti shalat id. Pada rakaat pertama, takbir tujuh kali sebelum
membaca surat al-Fatihah. Pada rakaat kedua, takbir lima kali sebelum membaca
surat al-Fatihah.
Khutbah dua kali (tapi boleh juga sekali) setelah shalat. Khutbah ini boleh
dilakukan sebelum shalat tetapi tidak utama, sebaiknya dilakukan setelah shalat
seperti halnya shalat id. Rukun khutbah sama seperti rukun khutbah
pada umumnya.
Ketika khatib berdoa, makmum mengangkat tangan sambil mengucap amin.
Pada perkiraan dua pertiga khutbah kedua, khatib disunnahkan menghadap kiblat lalu membalik posisi selendang surbannya dari bahu kanan ke bahu kiri dengan posisi terbalik, bagian bawah diletakkan di atas dan bagian dalam diletakkan di luar. Setelah itu kembali meneruskan khutbah.
Diambil dari sumber: https://islam.nu.or.id
Tentang Kami
Kami merupakan spesialis layanan cetak buku yasin & tahlil untuk Anda yang membutuhkan buku yasin & tahlil murah tapi berkualitas. Pemesanan dapat dilakukan secara online dan kami siap melakukan pengiriman ke seluruh Indonesia. Hubungi kami segera :